Hadirin yang saya muliakan,
Dalam konteks Kanada (Archer, Garrison, & Anderson, 2013), perguruan tinggi tidak mempunyai masalah yang sama dengan perusahaan bisnis karena hampir tidak ada kompetisi, pasar dengan pemasok terbatas (captive market), dampak dari komunikasi klien dengan dosen tidak berdampak serius asalkan memenuhi standar kinerja minimal, dan keuangan dosen tidak secara langsung terpengaruh dari aktivitas kinerja pengajarannya. Karena itu, disruptive innovation yang diusulkan lebih mengarah pada pembelajaran jarak jauh untuk kelas ekstensi atau continuing studies, dengan karakteristik kemudahan, pasar yang tidak luas, dan belum tentu diminati oleh perguruan tinggi yang ada saat ini.
Di Inggris (Flavin, 2012), perguruan tinggi melakukan investasi yang cukup signifikan untuk teknologi digital dalam pembelajaran dan pengajaran. Penyediaan Virtual Learning Environments (VLEs) saat ini merupakan hal yang umum di dunia pendidikan tinggi. Menurut Flavin, disruptive technologies harus bisa menawarkan teknologi yang mengganggu kebiasaan yang umum dilakukan saat ini. Penggunaan VLE telah mengganggu praktek pengajaran konvensional yang ada. Meskipun tujuannya untuk meningkatkan pengajaran, sedikit gangguan dalam praktek pengajaran telah terjadi. Penggunaan Wikipedia telah mengganggu bisnis ensiklopedia dalam menyajikan pengetahuan dan cara orang-orang mendapatkan informasi secara cepat. Apabila di masa mendatang jaminan dan prosedur penambahan konten di Wikipedia menjadi lebih baik, bukan tidak mungkin Wikipedia akan semakin bisa digunakan sebagai bahan rujukan.
Dalam buku The Innovative University, Christensen & Eyring (2011) menekankan bahwa perguruan tinggi perlu memikirkan kembali keseluruhan model pendidikan tinggi melalui disruptive technology serta menawarkan cara-cara baru terkait dengan kurikulum, fakultas, pendaftaran, retensi mahasiswa, tingkat kelulusan, pemanfaatan fasilitas kampus, dan isu mendesak lainnya. Teknologi memungkinkan penyederhanaan terhadap masalah dan kebutuhan yang ada di dalam perguruan tinggi. Keberadaan teknologi dapat dimanfaatkan untuk personalisasi pembelajaran. Melalui bukunya Disrupting Class, Christensen, Johnson, & Horn (2017) menjelaskan bahwa disruptive innovation yang digambarkan oleh Christensen juga terkait dengan kustomisasi pembelajaran untuk setiap individu yang berbeda. Personalisasi pembelajaran elektronik yang dimaksudkan Christensen merupakan salah satu topik penelitian saya, Dr. Cecilia, dan Dr. Bernard dalam beberapa tahun ke depan.
Bagi Unika Soegijapranata, inovasi perguruan tinggi bukanlah sesuatu yang asing. Sebagai Wakil Rektor dengan latar belakang pendidikan di bidang komputer, saya mendapatkan kepercayaan dari Prof Budi Widianarko selaku Rektor Unika Soegijapranata untuk menerapkan berbagai teknologi yang bermanfaat bagi kampus ini. Sebagai contoh, dalam menjawab kebutuhan mahasiswa, orangtua, dan dosen di lingkungan kampus akan berbagai informasi penting di universitas secara real time, pada akhir April 2015 Unika Soegijapranata meluncurkan aplikasi Unika Menyapa (Luhur, 2015a). Sebelumnya, akses informasi dilakukan secara konvensional melalui papan pengumuman, website, dan surat. Dengan adanya program berbasis Android tersebut, pengguna aplikasi secara otomatis akan menerima informasi terbaru mengenai jadwal penting universitas, kegiatan yang sudah terlaksana ataupun yang akan datang di tingkat universitas dan program studi, pengumuman-pengumuman, informasi peluang untuk mahasiswa, buku- buku terbaru perpustakaan, akses ke dalam sistem informasi akademik, dan pengisian Kartu Rencana Studi (KRS) secara online. Dengan keberadaan aplikasi tersebut, pengguna tidak perlu mencari informasi di papan pengumuman, website, ataupun menunggu surat dari kampus, melainkan aplikasi yang mendatangi pengguna ketika ada informasi terbaru. Dengan semakin umumnya penggunaan ponsel cerdas saat ini, Unika Menyapa mengubah kebiasaan mahasiswa, orangtua, dan dosen dalam mendapatkan informasi secara cepat dan akurat.

Gambar 3. Tampilan Aplikasi Unika Menyapa
Selain itu, Unika Soegijapranata menambahkan QR Code di dalam ijazah lulusan pada awal September 2015 untuk mempermudah perusahaan dalam melakukan verifikasi keasliannya (Luhur, 2015b). Jika semula perusahaan harus melakukan kontak ke universitas untuk memastikan keaslian ijazah, maka saat ini mereka dapat melakukannya sendiri dengan memindai (scan) QR Code yang ada di dalam ijazah dengan memanfaatkan aplikasi pembaca QR Code yang dapat dipasang di semua ponsel cerdas. Sistem Informasi di dalam Unika Soegijapranata selanjutnya akan menginformasikan nama dan informasi alumni yang terkait. Perusahaan dapat membandingkan informasi tersebut dengan ijazah yang ada di tangannya untuk mendapatkan kesimpulan akan keaslian ijazah tersebut. Usaha di atas sekaligus merupakan salah satu jawaban Unika Soegijapranata dalam menyikapi masalah pemalsuan ijazah yang muncul di Indonesia pada bulan September 2015.

Gambar 4. Tampilan hasil verifikasi ijazah
Terkait dengan semangat kepedulian terhadap lingkungan, Unika Soegijapranata mulai mengalihkan mekanisme pendaftaran dan ujian masuk mahasiswa barunya ke dalam format digital berbasis internet pada awal tahun 2016 (Wahyu, 2016). Dengan mekanisme tersebut, maka proses pendaftaran tidak lagi harus menggunakan media kertas atau menggunakan email. Data yang tersimpan ke dalam sistem informasi dapat langsung terkoneksi dengan semua berkas yang dibutuhkan untuk masuk ke dalam perguruan tinggi, mulai dari surat penerimaan, jalur pembayaran dengan virtual account, kartu mahasiswa sementara, dan semua layanan yang dibutuhkan selama kuliah. Pada saat wisuda, mahasiswa cukup memanfaatkan sistem informasi wisuda agar proses menjadi lebih singkat dan dalam satu atap saja. Sistem yang diperkenalkan pada Maret 2015 ini juga mengintegrasikan softcopy tugas akhir yang telah diperiksa dengan software antiplagiasi untuk kepentingan perpustakaan digital Unika Soegijapranata (Santoso, 2015). Dengan integrasi software antiplagiasi tersebut, mahasiswa dapat belajar mengenai teknik penulisan yang baik sekaligus terhindarkan dari potensi plagiasi yang dapat mengancam masa depannya (Putra, 2015; Sanjaya, 2014).

Gambar 5. Proses pendaftaran wisuda secara online
Revitalisasi dalam e-learning juga dilakukan oleh Unika Soegijapranata pada tahun 2013 dengan menambahkan berbagai fitur yang dibutuhkan dalam proses pembelajaran. Keterlibatan perpustakaan dalam memasok pustaka yang dibutuhkan, mendorong praktek yang benar dalam menulis tugas maupun laporan yang bebas dari plagiasi, dan memfasilitasi komunikasi secara realtime berbasis multimedia, merupakan strategi dalam menciptakan kenyamanan dan kemudahan bagi dosen maupun mahasiswa. Penggunaan teknologi informasi yang terintegrasi dalam mewujudkan kebutuhan tersebut menjadi langkah yang harus ditempuh untuk mewujudkan strategi tersebut. Alhasil, proses adopsi budaya anti-plagiasi ke dalam proses tugas akhir bahkan pada beberapa tugas mata kuliah dapat diterima dengan cepat oleh dosen dan mahasiswa di kampus ini. Bahkan dalam acara Student of The Year (SoTY) 2017, salah satu mahasiswa dapat menjelaskan pemanfaatannya dengan runtut untuk aktivitas perkuliahannya. Saya menyampaikan apresiasi kepada Unit Perpustakaan yang selalu komitmen menjadi mitra dalam sosialisasi dan edukasi bagi mahasiswa dan dosen.

Gambar 6. Integrasi dengan software anti-plagiasi dalam dalam situs e-learning
Dalam penelitian Unggulan Perguruan Tinggi yang saya lakukan bersama Ibu Posmaria Sitohang dan Ibu Eva Maria Soekesi pada tahun 2014 dan 2015 dengan pembiayaan dari Kementrian Ristek dan Dikti yang berjudul “Pengembangan Model dan Implementasi Kewirausahaan Sekolah Melalui Pemberdayaan Industri Kreatif Game Berbasis Edukasi”, setiap pengajar mempunyai potensi untuk dihubungkan dengan peluang bisnis di bidang game edukasi melalui alat bantu pembuatan permainan yang mudah dipahami oleh semua orang. Kekayaan dosen berupa konten pembelajaran dapat menjadi modal dalam pengembangan bisnis game edukasi (Sanjaya, Soekesi, & Sitohang, 2015). Selain itu, metode pembelajaran berupa permainan digital yang dimainkan oleh siswa dapat meningkatkan ketertarikan dalam belajar. Selanjutnya, melalui penelitian Kerjasama Luar Negeri pada tahun 2016 dan 2017 yang saya lakukan bersama Dr. Cecilia Titiek Murniati dengan judul “The Integration of Educational Games for Collaborative Learning”, pembuatan game dapat menjadi metode dalam pembelajaran kolaboratif bagi siswa tanpa harus terkait dengan latar belakang pendidikan komputer sebelumnya. Hal ini memungkinkan partisipasi aktif dari setiap peserta pembelajaran untuk bekerjasama menghasilkan konten edukatif melalui aktivitas kreatif yang menarik bagi mereka (Christanti, Sanjaya, & Murniati, 2016). Mahasiswa dari Youngstown State University di Amerika Serikat, Unika Soegijapranata, dan beberapa kampus di Semarang mengekspresikan ketertarikan mereka dalam metode tersebut.


Gambar 7. Pembuatan game sebagai metode pembelajaran kolaboratif di Unika Soegijaparanata dan Youngstown State University
Dalam waktu-waktu mendatang, kemudahan dan kenyamanan bagi mahasiswa, orang tua, dan dosen akan menjadi fokus dengan menitikberatkan pada peningkatan konektivitas berbagai layanan dalam satu genggaman sehingga semua kebutuhan pengguna yang terkait dengan universitas dapat dipenuhi dengan cepat dan fleksibel. Layanan akademik tidak harus diperoleh dengan kehadiran fisik tetapi kualitas layanan tidak boleh berkurang. Biaya yang timbul akibat kehadiran fisik maupun akibat biaya layanan dapat semakin diminimalkan atau bahkan ditiadakan. Dengan begitu, Unika Soegijapranata dapat menjembatani mahasiswa dan dosen untuk menghasilkan value added atau nilai tambah melalui ide dan talenta yang dihubungkan ke dalam peluang-peluang yang ada. Kemampuan mengumpulkan dan mengolah Big Data di dalam universitas akan menjadi salah satu kunci dari kemampuan menghasilkan peluang-peluang tersebut.